Rabu, 22 April 2009

Ketika Kelamin Tak Mampu Batasi Gender

Film Transamerica

“Dulu ada satu gadis ini di perguruan tinggi,” Bree (Felicity Huffman) merenung, “tapi semuanya adalah kehidupan seorang lesbian yang tragis, aku berusaha untuk tidak mengingatnya lagi.” Tetap saja Margaret (Elizabeth Pena) memaksa Bree harus bertemu dengan anaknya dulu sebelum operasi kelamin dilakukan.

Stanley Shupack telah berganti nama menjadi Sabrina (Bree) Ousborne setelah tiga tahun menjalani terapi hormon dan baru sebentar melakukan operasi silikon. Suaranya berubah, dadanya makin montok. Kurang satu hal lagi untuk memastikan dirinya menjadi perempuan yaitu operasi kelamin. Sebenarnya kurang seminggu lagi operasi kelamin dilakukan. Tapi dihadapan terapisnya, Bree keburu ingat bahwa 17 tahun yang lalu dia pernah punya anak.

Penuh rasa malas, Bree meninggalkan Los Angeles menuju New York menjemput Toby (Kevin Zegers) -seorang anak penuh dengan masalah yang bercita-cita menjadi bintang film porno-. Toby dipenjara akibat kasus narkoba. Bree –melabur wajahnya dengan make-up dengan amat tebal- mengaku bahwa dia adalah misionaris gereja yang diutus untuk menyembuhkan Toby. Toby -yang memang tidak tahu harus ke mana- percaya saja kepada Bree.

Drama pun diseting mulai dari perjalanan pulang ke New York. Sepasang “ayah” dan anak itu mampir dulu ke Kentucky untuk mempertemukan Toby kepada ibunya. Ternyata ibu Toby yang telah lama berpisah dengan Stanley mati bunuh diri.

Perjalanan pun dilanjutkan. Bree mengajak Toby menemui rekan-rekannya, komunitas wanita transeksual di Arkansas. Pada perjalanan menuju Arkansas, Toby, secara tak sengaja mengetahui Bree adalah laki-laki pada saat buang air. Sepanjang jalan Toby tak henti-henti menghina Bree. “I’m not a transvestite. I’m a transsexual woman,” bela Bree.

Setelah mampir di Arkansas, Bree mengajak Toby menemui orang tuanya di Phoenix. Disini Bree berniat meminta restu kepada orang tuanya sekalian meminjam uang untuk keperluan operasi. Tentu saja sambutan yang tak mengenakkan diterima Bree. Campuran antara gumun, malu dan apatis adalah yang dirasakan Bree pada saat “pertama kali” berhadapan dengan mereka. Saudari perempuan yang tak menyenangkan, orang tua yang vulgarian ditemui Bree disini.

Memegang bagian bawah tubuh Bree, untuk mengecek pra atau pasca operasi kelaminkah anaknya adalah salah satu tanggapan yang diberikan Elizabeth, ibu Bree (Fionnula Flanagan). “Ketahuilah, ibu tak pernah punya anak laki-laki,” balas Bree.

Lama-kelamaan Toby mulai bersimpati kepada Bree atas usaha menunjukkan identitas keperempuanannya. Akhirnya simpati ia tunjukkan dengan menyatakan rasa cintanya kepada Bree...

Keraguan
Kehidupan di wilayah “abu-abu”, itulah yang disajikan Tucker di sini. Kita akan merasakan redefinisi ala ala sang sutradara akan pengertian transeksual. Wanita transeksual adalah wanita yang sebenar-benarnya menurut Tucker. Mereka hanya “dikaruniai” tempat yang tidak pas. Tinggal tunggu waktu saja untuk kembali ke tempat yang seharusnya. Singkatnya, laki-laki atau perempuan bukan ditentukan oleh kelamin tapi hati. ”We don’t against gender, We were only granted to be men. People like you just look queer at us,” kata rekan Bree kepada Toby di komunitas wanita transeksual.

Sedangkan wadam (hawa adam) menurut Tucker adalah cerminan seorang gender yang ragu memilih sekaligus pelabuhan transit yang nyaman ditempati.

Bukan itu saja, penontonpun kembali bingung ketika membahas soal kemana setetes cinta dijatuhkan. Yang kita tahu cinta hanya buta soal harta dan kedudukan. Mungkin soal gender (homo dan lesbian) paling pol. Di sini cinta pun sampai menerobos batas muhrim. Toby mencintai -bak seorang kekasih- ayah kandung yang kemudian akan menjadi ibunya. Bagaimana Bree menjelaskan identitas aslinya kepada Toby?

Kendati begitu, film ini tidak begitu dipandang di ajang Oscar 2005. Juri-juri di sana lebih silau dengan cerita sepasang koboi homo di pegunungan Brokeback yang diusung Brokeback Mountain atau isu-isu rasialisme di Amerika yang menjadi tema Crash. Transamerica hanya menjadi nominasi di dua kategori yaitu aktris terbaik oleh Felicity Huffman dan original song terbaik oleh biduanita country, Dolly Parton.

Sungguh sebuah peran yang unik sekaligus komplek bagi Huffman. Mungkin alasan pertama Tucker memilih Huffman berperan sebagai Bree adalah keunikan wajah Huffman yang mirip laki-laki. Berbekal pengalaman berperan sebagai seorang ibu yang frustrasi menghadapi anak-anaknya yang hiperaktif di serial Desperate Housewives, Huffman menjawab tantangan ini dengan sempurna. Perannya sebagai wanita transeksual sangat natural. Mulai dari suara yang ala wadam hingga mimik wajah maupun tubuh. Bukan itu saja, sosok wanita yang keras hati mempertahankan status hawanya plus sabar yang keibuan –terutama kala menghadapi Toby- menghadapi kontroversi lingkunganpun ia perankan dengan sangat baik. Di banyak ajang penghargaan Huffman dinominasikan sebagai aktris terbaik. Ia menang di Golden Globe tapi dikalahkan Reese Witherspoon (Walk The Line) di ajang Oscar.

Sampah, Jago, dan STW

Sepanjang Jalan Kepodhang, bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebi dari lima meter saling berhadapan. Bayangan yang terbentuk meneduhi jalanan. Satu dua kendaraan lewat. Diiringi bau pesing semriwing.

Hampir 2 jam Bang Kadir ada di kantor Samsat Semarang untuk memperpanjang masa berlaku SIMnya yang dua hari lagi hampir habis. Biarpun lima tahun sekali, mengurus perpanjangan SIM ternyata menguras tenaga dan kesabaran. Bolak-balik antri dari satu loket ke loket lain, menunggu panggilan, belum lagi merasakan panasnya kemarau, membuat bang Kadir hampir frustasi.

Cuplis si ponakan yang menemani, duduk deleg-deleg menunggu sang paklik di jejeran bangku depan loket. Akhirnya SIM baru didapatkan setelah hampir 3 jam perjuangan. Bang Kadir yang sudah keroncongan mengajak Cuplis makan di warung nasi kucing seberang kantor. Jalan Gelatik kendati jalan searah siang itu sulit diseberangi. Laju kendaraan berkecepatan di atas 50 km/jam membuat mereka menunggu setidaknya selama 5 menit. Cuplis yang baru pertama kali diajak ke kantor Samsat cuma clingak-clinguk ke sana ke mari melihat pemandangan yang baru kali pertama dilihat.

“Bang Kadir tak jadi menyeberang ke warung nasi kucing, alih-alih menggeret tangan si Cuplis berjalan ke arah Jembatan Berok. “Jalan-jalan sik wae sisan mumpung neng kene, itung-itung nyenengke cah kuper iki,”batinnya.

“Tak andani yo nang, jenenge landha kan wis tau njajah Indonesia mesti yo mrene barang to yo,”jelasnya. “IMMANUEL!”eja Cuplis. “Wong Semarang nyeluke Greja Blenduk nang!”timpal Bang Kadir. “Oo aku ngerti bang, mesti amargo gendhenge mblendhuk yo bang?”tanya Cuplis yakin. Bang Kadir diam saja, mungkin deru kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi konsentrasinya pecah. Terlalu ramai plus cuaca panas, bang Kadir kemudian berbelok ke sebuah gang menuju jalan Kepodhang. “Wah nek koyo ngene, landhane ra kopen yo bang,” Cuplis berkata sambil menunjuk ke selokan yang mampet karena sampah. “Yo mungkin ngene Plis mikire wong-wong dhuwur, kene kan Kota Lama, dadine ra mung gedhong-gedhonge thok sing lama, sampah-sampahe barang kudu “lama”,” ujar Bang Kadir. Cuplis yang telmi cuma mengangguk canggung.

Sampailah mereka di pertigaan jalan Kepodhang. Mereka berdua berjalan ke arah Kali Semarang. “Wah aku rak wani lunga mrene bengi-bengi bang,” ujar Cuplis. “Aku wae rak wani og,” timpal Bang Kadir sambil melihat sebuah gedung tua yang mirip kastil vampir di Pennsylvania. “Kene nek bengi ki akeh premane,” ujar bang Kadir. Mereka meneruskan perjalanan. Bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebih dari lima meter saling berhadapan sepanjang jalan Kepodhang membuat suasana teduh. Pun kendaraan hanya satu dua yang lewat.
“Bang, apik ik ana ringin (beringin) iso tukul ning tembok,”seru Cuplis sembari menunjuk sebuah gedung yang ditumbuhi pohon beringin.

“Iyo ik, mungkin kene mengko iso dadi cagar alam perlindungan wit ringin yo plis he he he,” balas Bang Kadir sambil tertawa setelah melihat ternyata ada banyak pohon beringin menclok di gedung-gedung tua sepanjang jalan.”Bang, nek kawasan Kota Lama didadekke obyek wisata mesti apik yo bang?”tanya Cuplis.”Oo wis ket mbyen, kawasan kene ki yo dilindungi undang-undang lo,” jelas Bang Kadir. “Dilindungi piye, malah podho rusak’,”tanya Cuplis menyalahkan. “Yo mungkin mikire wong-wong dhuwur kan, bangunan kene rak entuk diowah-owah dadi yo dijarke koyo ngene,” jelas bang Kadir.

Mereka sampai di sebuah pertigaan. Di seberang kanan depan sebuah gedung tua, ada keramaian kokok ayam-ayam. Ternyata hanya ada ayam-ayam jago. Ada yang dikurung, ada yang dielus-elus, ada pula yang dikempit. Serta sekumpulan mayoritas laki-laki yang mungkin melakukan transaksi jual beli.

“Bang, ana pasar pithik barang, pithike jago kabeh,”seru Cuplis sembari menunjuk. Satu dua orang di sana memandang tajam ke arah mereka berdua. Melihat gelagat kurang baik, Bang Kadir menggeret lagi tangan si Cuplis dan berjalan cepat ke pinggir Kali Semarang, tempat pemberhentian terakhir angkot-angkot oranye Semarang .

Bang Kadir mengajak Cuplis menuju jalan Mpu Tantular, niatnya memperlihatkan si Cuplis Polder Tawang. Kira-kira lima belas menit berjalan sampailah mereka di polder. Mereka duduk di sebuah ambalan menghadap Stasiun Tawang sembari melepas lelah.

“Ki lo nang sing jenenge polder, dibangun ben nggo ngelongi banyu rob saka laut,”jelas Bang Kadir. “Ambune!”seru si Cuplis sambil menutup hidung dan melihat air polder yang berwarna kehijauan. Mereka hanya sanggup “bertahan” lima menit duduk di sana. Bau mirip bau kentut mengganggu pernafasan mereka.

Bang Kadir dan Cuplis berbalik dan melihat sebuah bangunan berpintu banyak serta tembok yang tidak utuh lagi. Mereka berjalan menuju ke sana. Di sebuah lubang besar yang sepertinya bekas pintu yang yang jebol, mereka melihat warung makan yang ditunggui seorang wanita. “Ma’em mas!” seru si penjual. Tempat itu sepi dan gelap. Meski lapar Bang Kadir tidak berselera makan. Bau busuk menggelitiki rongga hidungnya.

Mereka memutuskan kembali ke warung nasi kucing depan Kantor Samsat. Ternyata banyak pintu yang tak terkunci di gedung tua itu. Bang Kadir yang agak grathil membuka salah satu daun pintu. Cuplis ada di belakangnya.

Sesaat setelah membuka pintu, “ayo mas melbu wae, anake dijak sisan yo ra po-po,” sapa seorang wanita STW berdandan menor serta berpakaian ketat. Cepat-cepat ia menutup pintu kembali dan menggeret lengan Si Cuplis dan langsung mengambil langkah seribu. “Asem! Pengene seneng malah senep,” sesal Bang Kadir.

“Ana apa to bang,” Cuplis yang kewalahan mengikuti Bang Kadir. “Ana setane yo bang?” tanyanya polos.

Dipublikasikan di tahun 2006

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,....

Pernahkah kita bertanya mengapa kita menulis dengan huruf latin tidak honocoroko seperti leluhur kita? Atau huruf sanskrit yang merupakan nenek moyang dari mayoritas huruf yang tersebar di Nusantara? Mengapa alfabet dianggap lebih mudah ketimbang huruf arab atau honocoroko yang silabik?

Jika kita telisik sejarah, huruf latin menurut McLuhan awalnya adalah huruf bangsa Funisia yang merupakan representasi grafis dari fonem yang mereka ucapkan. Representrasi fonem itulah yang kemudian diambil oleh bangsa Romawi melalui bangsa Yunani dan Etruska. Maka lahirlah huruf latin. Alasan Romawi memakai huruf dari Funisia adalah karena huruf Funisia lebih mudah dipahami daripada huruf Mesir kuno atau Cina yang berkutat dengan gambar bersatuan pengertian yang jumlahnya amat banyak dan sulit dipelajari. Dengan tingkat kesulitan yang tergolong rendah, kata McLuhan lagi, mulai dari sinilah bangsa barat mempromosikan huruf “latinnya” dan kemudian berhasil menguasai hegemoni bidang komunikasi serta di bidang-bidang lain.

Bicara hegemoni, keberhasilan dunia barat dalam menguasai hampir seluruh sendi-sendi kehidupan tidak bisa dilepaskan dari jasa Johann Gutenberg. Semua hasil pemikiran manusia yang tertulis dapat diperbanyak dengan mesin cetak temuannya. Kopian ilmu filsafat, sastra, kepercayaan barat tersebar ke belahan dunia timur, dibawa penjelajah Eropa. Mulai dari sinilah bangsa timur termasuk Indonesia mulai tertarik dalam hegemoni dunia barat.

Bangsa yang tak punya huruf
Di jok belakang sebuah taksi di jalanan kota Tokyo pada malam hari, duduk tertidur Bob Harris (Bill Murray) seorang bintang film yang mulai redup ketenarannya. Lelah sehabis perjalanan udara selama hampir 24 jam dari New York, kembali tidur setelah sempat terbangun. Pada saat terbangun Bill sempat melihat suasana malam Tokyo yang dipenuhi kelap-kelip lampu. Frustasi-frustasi yang terakumulasi terlihat dari wajahnya...

Kita tidak akan menganalisis kefrustasian Bob akan krisis paruh bayanya, kita hanya menganalisis bagaimana Bob yang makin frustasi setelah melihat suasana kota Tokyo yang begitu asing. Keasingan yang membuat ia muak adalah semua yang ia lihat tidak bisa ia baca. Tulisan kanji yang berkelap-kelip membuat ulu hatinya makin tertohok. Ia memilih tidur dan berharap semoga cepat sampai di hotel. Potongan adegan dari film Lost in Translation di atas menurut sang sutradara, Soffia Coppola memang terinspirasi oleh kehidupannya sendiri di Tokyo sebagai pendatang. “Rasanya sangat asing, seperti di planet lain, dan jetlag menjadi puncaknya,” selorohnya di sebuah media massa.

Dari ilustrasi di atas penulis akan memberikan ilustrasi lain. Sekutu gagal menembus Cina, di bawah otoritarian Mao Ze Dhong lah Cina disebut sebagai negeri tirai bambu. Sekarang, huruf kanji China selalu terpampang di setiap umbul-umbul kala festival Cap Nggo Meh di Indonesia. India, mengacuhkan Inggris dengan Swadesi yang diusung oleh Mahatma Gandhi. Dan sampai saat ini, huruf India selalu nampang di bagian akhir setiap film Bollywood. Dari dua ilustrasi tersebut penulis akan beralih pada sebuah bangsa yang sama seperti ketiga bangsa di atas, tak bisa lepas dari intervensi “asing” (baca: barat) sejak dulu kala.

Selama masa pergerakan nasional foundingfathers kita, -mungkin saking kooperatifnya dengan penjajah- kala merumuskan Sumpah Pemuda, melupakan satu hal yang potensial. Satu aksara! Padahal ingat, kita punya banyak aksara daerah. Mungkin juga mereka berpikir saking beragamnya aksara-aksara Nusantara maka aksara latin sajalah yang dipakai untuk memermudah menjalin persatuan dan kesatuan.

Sekarang mari kita lihat kondisi riil bangsa kita sekarang. Budaya indigenous kita sudah pasti luntur dengan budaya advertising barat-memang pergeseran budaya bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia-. Akan tetapi setidak-tidaknya bila memiliki huruf sendiri, mungkin saja kita tidak begitu mudahnya mengekor budaya barat sampai-sampai kurang pede bila kulit kurang putih, rambut kurang lurus atau hidung kurang mancung.

Kalau kita membicarakan Jepang -penulis tidak akan membicarakan perkembangan iptek Jepang- demam harajuku sedang melanda di dunia anak muda sekarang. Atau populer mana sekarang, Shinichi Kudo dengan Ran atau Mickey Mouse dengan Donald Duck misalnya? Bicara India, mereka bisa berbangga hati karena bisa menyelenggarakan festival film yang hampir menyamai gaung Academy Award tiap tahun. Bicara Cina,-untuk negara ini penulis akan membicarakan perkembangan iptek- tahun 2003 berhasil mengorbitkan Yang Liwei, yuhangyuan (astronot) mereka mengelilingi bumi selama 21 jam. Yang istimewa Yang Liwei bukan meluncur dari Florida tapi dari Gansu, Cina negerinya sendiri.

Terbukti dengan memiliki huruf sendiri negara-negara tersebut memiliki semangat untuk berkreasi, menonjolkan diri, serta semangat untuk mencintai apa yang mereka miliki.

Ketika kita mempelajari sejarah kala SMP, perpindahan dari zaman pra-sejarah ke zaman sejarah adalah dengan ditemukannya tulisan bukan? Kemudian, saat kita membuka bab berikutnya tentang zaman sejarah kita menjadi tahu bahwa tolok ukur beradab dan unggulnya suatu bangsa dinilai apakah mereka sudah memiliki tulisan atau belum kan? - penulis tidak bermaksud bahwa bangsa kita tidak “beradab”-. Kalau kita sudah kadung bangga dengan huruf latin, banggakah kita menggunakan huruf caplokan?

”Budaya unggul harus jadi identitas kita, kalau orang lain bisa mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa kenapa kita tidak. Kalau ekonomi China maju kenapa kita tidak bisa maju,” kata Susilo Bambang Yudhoyono, kala meyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, November 2005 silam. Pernyataan beliau memang menggedor kesadaran kita tapi gimana ya? Lha wong untuk mengungkapkan gagasan di atas kertas saja kita jelas-jelas bukan cerminan dari bangsa unggul.

Ada sedikit kegembiraan penulis tatkala pertama kali menemui font Java di komputer milik seorang teman. Tapi setelah penulis teliti, font tersebut hanya font latin rasa honocoroko.

Memang amat muskil meneruskan judul di atas dengan satu frasa lagi, Satu Aksara.....








Selasa, 21 April 2009

Media Kuning Itu...

Lah Dalah, 60 % Ciblek Simpang Lima Masih Ranum...!

Judul berita sebuah koran lokal itu saya baca keras-keras.
Kontan kawan saya tertawa mendengar kalimat “lucu”
itu. Koran itu saya buka untuk dibaca judul-judul di masing-masing rubriknya. Saya selalu membaca keras-keras apabila ada judul berita yang saya anggap “heboh”. Koran-koran yang saya bawa itu rata-rata ber-lay out semarak, memajang foto-foto berani, dengan terdapat lebih dari 10 judul berita di halaman depan.

Meteor
Bejan Syahidan, Pemimpin Redaksi harian Meteor saya temui esok paginya (22/9). Ia mengakui harian Meteor sebagai media kuning. “Isi dari media kami memang tidak jauh-jauh dari kriminal, seks, dan supranatural. Itu sudah maqom-nya media kuning mas,” akunya. “Tapi perlu digarisbawahi bahwa berita yang kami tulis adalah berdasarkan fakta, tidak dibuat-buat,” tambahnya. “Rubrik Alkisah kami tujukan untuk pasangan suami istri untuk menambah gairah mereka dalam berhubungan intim,” jelas Bejan. Ia menjelaskan lagi kalau Meteor dibilang sebagai koran porno, sebenarnya bagian tersebut tidak lebih dari 10 persen. Masih kalah jauh dengan tayangan televisi. “Anak yang belum bisa baca bisa menyaksikan televisi, tapi tidak bisa membaca Meteor,” tambahnya lagi.

“Manfaat membaca media kuning sendiri apa Pak?” tanya saya. “Orang mencopet, merampok sekarang sudah kreatif, orang merampok ora mesti mbobol jendela (tidak harus menjebol jendela), banyak sekali modusnya. Nah dengan membaca media-media seperti Meteor orang jadi tahu variasi-variasi modus kejahatan tadi,” jawabnya dengan logat jawa kental.

Kantor redaksi Meteor di lantai 3 di Gedung Graha Pena, daerah Banyumanik, Semarang. Ternyata Meteor beroplah 150 ribu eksemplar per hari tersebar di Jateng dan DIY. Meteor menguasai persaingan untuk media sejenis di Jateng dan DIY.

Merapi
Akhir September, saya pergi ke Yogyakarta untuk mewawancarai Nurhadi, Pemred harian Merapi. Merapi adalah media lokal yang memberitakan kriminal dan supranatural. Yang berbau pornografi tidak akan kita temukan di media ini. “Asal-usul wartawan kami adalah wartawan KR (Kedaulatan Rakyat),” kata Nurhadi. Harian Merapi memang bernaung di bawah satu perusahaan dengan KR.

“Orang boleh berpendapat kalau Merapi adalah koran kuning. Saya bilang nggak. Bagi saya koran kuning adalah koran yang mengabaikan fakta yang ada,” tegasnya. Nurhadi yang pernah menjadi anggota tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan Udin ini menambahkan Merapi tidak akan menulis kronologis peristiwa kejahatan secara mendetail. “Misalnya, kasus pemerkosaan, kami tidak akan menceritakan bagaimana korban diperkosa,” tambahnya.

“Niat kami menerbitkan Merapi tidak akan memuat hal-hal yang berbau pornografi. Rubrik supranatural pun kami buat sebisa mungkin untuk tidak menjurus ke syirik-musyrik,” tegasnya.
Jumat pagi (30/9) saya berada di depan Kantor Redaksi KR di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Kantor redaksi Merapi di belakang kantor redaksi KR. Tidak ada papan nama Merapi di pinggir jalan. Yang ada hanya tulisan besar “Kedaulatan Rakyat” di bagian depan bangunan.

Letak kantor redaksi Merapi nyempil di belakang. Setelah menggeser sehelai daun pintu, saya berhadapan dengan ruang amat kecil.
Jumlah barang-barang yang sangat banyak menambah sesak ruang kecil itu. Ada 4 perangkat komputer dalam ruang tersebut. Di dinding terdapat foto-foto wanita cantik berpose aduhai.
Untuk sebuah harian yang mulai terbit pada tahun 2003, Merapi beroplah sebanyak 30 ribu eksemplar tersebar di DIY dan Jateng. “Untuk Jogja, kami berada di urutan nomor dua harian dengan oplah terbanyak setelah KR mas,” jelasnya sambil menunjukkan data keluaran AC Nielsen.

Kriminal
Setelah dari Jogja, pencarian informasi perihal media kuning berlanjut ke sebuah media yang cukup dikenal di Semarang. Media ini terbit secara mingguan. Namanya Mingguan Kriminal. Setelah saya amati ternyata berita-berita di mingguan ini didominasi berita-berita kasus korupsi. Sementara berita-berita tentang pencurian pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain mendapat porsi yang lebih sedikit.

“Kira-kira sudah setengah tahun ini kebijakan redaksional kami berubah, kami banyak menonjolkan berita tentang korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat daerah, jadi tujuan kami dengan adanya Kriminal adalah ingin mengungkapkan kepada masyarakat akan berbagai macam modus korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat tersebut,” kata Robinson Simarmata, Pemred Kriminal di sela-sela kesibukannya.

Saat ditanya soal salah satu rubrik yang terkesan porno dia menjawab dengan tenang, “Rubrik yang berbau pornografi milik kami hanya 1 lembar saja. Rubrik itu hanya sebagai bumbu saja dan uniknya rubrik itulah yang paling digemari konsumen kami. Tapi perlu digarisbawahi bahwa kami bukan media yang menonjolkan hal-hal seperti itu,” katanya.

Kantor redaksi Kriminal di daerah Tlogosari di kompleks sebuah ruko di Jalan Supriyadi. Kantornya sendiri berada di lantai dua, di atas sebuah wartel.

Kriminal beroplah 25-30 ribu tersebar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. “Jumlah oplahnya itu fluktuatif mas. Misal kalau ada sebuah kasus besar di suatu daerah, oplah mingguan kami di daerah itu bisa meningkat,” jelas Robinson.

Uses and Gratification
“Struktur penulisan berita di Meteor kami buat menyesuaikan konsumen kami. Sebagai contoh untuk masalah penjudulan kami sering memakai prokem-prokem yang populer di masyarakat,” jelas Bejan Syahidan. Dia menambahkan bahwa mungkin orang menyebut Meteor sebagai media kuning mungkin ditangkap sisi jeleknya yaitu sebagai koran yang amburadul, tren penulisannya tanpa tedeng aling-aling. Kenapa begitu memang sengaja. Mereka memikirkan betul-betul dengan melihat pasar yang ada.

“Untuk penulisan berita, Merapi sebisa mungkin memakai EYD, cuma perlu diingat segmen pasar kami adalah golongan menengah ke bawah sehingga kami juga sering menyelipkan bahasa-bahasa jawa ngoko,” aku Nurhadi.

Pernyataan berbeda keluar dari Robinson Simarmata. “Untuk Kriminal, kami berusaha untuk memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar karena mingguan kami juga tersebar di luar Jawa,” jelasnya.

Di Yogyakarta, selain menemui Nurhadi, saya juga menemui Muhammad Sulhan, dosen muda Jurusan Komunikasi UGM untuk dimintai pendapatnya tentang media kuning. Menurutnya, media kuning hadir sebagai salah satu alternatif bacaan bagi masyarakat di tengah-tengah bejibunnya media yang homogen, tidak bombastis, dan biasa-biasa saja. Padahal ada sekelompok golongan yang merasa terabaikan dengan homogennya media-media seperti itu. Ada golongan yang sulit mencerna tulisan-tulisan di media-media yang bahasanya akademik.
Konsep media ini sudah segmented. “Bagi saya pribadi media ini adalah sebagai pemenuhan kebutuhan bagi golongan menengah ke bawah. Buktinya terlihat dari struktur bahasa yang sederhana. Narasumber-narasumber yang tampil di media ini rata-rata adalah golongan menengah ke bawah. Mereka merasa dihargai. Sebagai contoh, kita akan senang untuk tampil di media. Jadi secara psikologis media ini adalah media kepunyaan mereka.”

Dalam ilmu komunikasi ada istilah Uses and Gratification, selalu ada alasan logis seseorang untuk mengkonsumsi media. Para pembaca media kuning merasa senang dan terlayani kebutuhannya sehingga mereka membeli. Ini pasar yang sangat potensial karena kita tahu sendiri rata-rata orang Indonesia adalah golongan menengah ke bawah,” jelasnya.

Sebagai misal, sambil bercanda, pengajar berpenampilan modis ini mencontohkan sebuah judul seperti berikut, “Seorang Gadis Bunting Gara-Gara Di-Criit oleh Anggota Dewan”. “Mungkin kaum yang berpendidikan tinggi bingung membaca judul ini, tapi bagi tukang becak, preman judul ini sangat meaningful bagi mereka. Pemaknaan mereka bagi mereka yang di kursi eksekutif dan para tukang becak berbeda,” jelasnya lagi. “Masalahnya kita terkejut dengan model pemberitaan tersebut. Kita menganggap hal itu memberi pengaruh buruk bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain, segmen yang dibidik media kuning itu tadi sudah biasa dengan hal-hal yang seperti itu. Kalau kita paham dengan logika segmen kita tidak perlu khawatir dengan masalah isi. Ini media untuk kita, ini media untuk mereka,” jelasnya.

Menurutnya, fungsi media kuning sebenarnya penting. Di dalam media putih seperti Kompas dan lain-lain berita kriminal amat sedikit dimuat dan pembahasan bisa dibilang tidak terlalu mendalam. Dengan membaca media kuning, masyarakat jadi lebih waspada akan berbagai bentuk tindak kejahatan. “Media kuning juga alat yang bagus sebagai media referentif bagi golongan menengah ke bawah. Referensi-referensi dari media kuning ini yang membuat mereka sering berdiskusi dan bertambah akrab,” jelasnya lagi.

Saat ditanya, benarkah media kuning berperan meningkatkan terjadinya tindak kejahatan sekarang ini, dia menjawab tidak benar. “Kita sering mengkambinghitamkan media atas kasus ini padahal sebenarnya salah. Seseorang memerkosa bukan karena dia membaca media kuning, tetapi karena dia tidak punya uang untuk memuaskan libidonya ke pelacur. Itu saja!” katanya santai. Ia menjelaskan lagi bahwa media hanya memberitakan hal-hal yang bersifat fakta saja, tinggal kita mau mengakui atau tidak melihat fakta yang seperti itu. “Yang menjadi masalah mungkin frame-nya,” sambungnya.

Terlepas dari hal-hal di atas dia melihat ada kekurangan media kuning dalam penyusunan beritanya. Struktur 5W+1 H belum tersusun baik dan hanya menonjolkan kekerasannya saja.
Ada saran darinya menanggapi media kuning. “Rata-rata wartawan media kuning tidak memiliki background pendidikan wartawan yang bagus. Apabila wartawan media kuning memiliki background yang bagus, maka tidak akan muncul berita yang hanya menonjolkan kekerasan saja. Struktur menulis beritanya pun akan semakin baik.”

Dipublikasikan di Majalah Kompas Mahasiswa, 2006