Rabu, 22 April 2009

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,....

Pernahkah kita bertanya mengapa kita menulis dengan huruf latin tidak honocoroko seperti leluhur kita? Atau huruf sanskrit yang merupakan nenek moyang dari mayoritas huruf yang tersebar di Nusantara? Mengapa alfabet dianggap lebih mudah ketimbang huruf arab atau honocoroko yang silabik?

Jika kita telisik sejarah, huruf latin menurut McLuhan awalnya adalah huruf bangsa Funisia yang merupakan representasi grafis dari fonem yang mereka ucapkan. Representrasi fonem itulah yang kemudian diambil oleh bangsa Romawi melalui bangsa Yunani dan Etruska. Maka lahirlah huruf latin. Alasan Romawi memakai huruf dari Funisia adalah karena huruf Funisia lebih mudah dipahami daripada huruf Mesir kuno atau Cina yang berkutat dengan gambar bersatuan pengertian yang jumlahnya amat banyak dan sulit dipelajari. Dengan tingkat kesulitan yang tergolong rendah, kata McLuhan lagi, mulai dari sinilah bangsa barat mempromosikan huruf “latinnya” dan kemudian berhasil menguasai hegemoni bidang komunikasi serta di bidang-bidang lain.

Bicara hegemoni, keberhasilan dunia barat dalam menguasai hampir seluruh sendi-sendi kehidupan tidak bisa dilepaskan dari jasa Johann Gutenberg. Semua hasil pemikiran manusia yang tertulis dapat diperbanyak dengan mesin cetak temuannya. Kopian ilmu filsafat, sastra, kepercayaan barat tersebar ke belahan dunia timur, dibawa penjelajah Eropa. Mulai dari sinilah bangsa timur termasuk Indonesia mulai tertarik dalam hegemoni dunia barat.

Bangsa yang tak punya huruf
Di jok belakang sebuah taksi di jalanan kota Tokyo pada malam hari, duduk tertidur Bob Harris (Bill Murray) seorang bintang film yang mulai redup ketenarannya. Lelah sehabis perjalanan udara selama hampir 24 jam dari New York, kembali tidur setelah sempat terbangun. Pada saat terbangun Bill sempat melihat suasana malam Tokyo yang dipenuhi kelap-kelip lampu. Frustasi-frustasi yang terakumulasi terlihat dari wajahnya...

Kita tidak akan menganalisis kefrustasian Bob akan krisis paruh bayanya, kita hanya menganalisis bagaimana Bob yang makin frustasi setelah melihat suasana kota Tokyo yang begitu asing. Keasingan yang membuat ia muak adalah semua yang ia lihat tidak bisa ia baca. Tulisan kanji yang berkelap-kelip membuat ulu hatinya makin tertohok. Ia memilih tidur dan berharap semoga cepat sampai di hotel. Potongan adegan dari film Lost in Translation di atas menurut sang sutradara, Soffia Coppola memang terinspirasi oleh kehidupannya sendiri di Tokyo sebagai pendatang. “Rasanya sangat asing, seperti di planet lain, dan jetlag menjadi puncaknya,” selorohnya di sebuah media massa.

Dari ilustrasi di atas penulis akan memberikan ilustrasi lain. Sekutu gagal menembus Cina, di bawah otoritarian Mao Ze Dhong lah Cina disebut sebagai negeri tirai bambu. Sekarang, huruf kanji China selalu terpampang di setiap umbul-umbul kala festival Cap Nggo Meh di Indonesia. India, mengacuhkan Inggris dengan Swadesi yang diusung oleh Mahatma Gandhi. Dan sampai saat ini, huruf India selalu nampang di bagian akhir setiap film Bollywood. Dari dua ilustrasi tersebut penulis akan beralih pada sebuah bangsa yang sama seperti ketiga bangsa di atas, tak bisa lepas dari intervensi “asing” (baca: barat) sejak dulu kala.

Selama masa pergerakan nasional foundingfathers kita, -mungkin saking kooperatifnya dengan penjajah- kala merumuskan Sumpah Pemuda, melupakan satu hal yang potensial. Satu aksara! Padahal ingat, kita punya banyak aksara daerah. Mungkin juga mereka berpikir saking beragamnya aksara-aksara Nusantara maka aksara latin sajalah yang dipakai untuk memermudah menjalin persatuan dan kesatuan.

Sekarang mari kita lihat kondisi riil bangsa kita sekarang. Budaya indigenous kita sudah pasti luntur dengan budaya advertising barat-memang pergeseran budaya bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia-. Akan tetapi setidak-tidaknya bila memiliki huruf sendiri, mungkin saja kita tidak begitu mudahnya mengekor budaya barat sampai-sampai kurang pede bila kulit kurang putih, rambut kurang lurus atau hidung kurang mancung.

Kalau kita membicarakan Jepang -penulis tidak akan membicarakan perkembangan iptek Jepang- demam harajuku sedang melanda di dunia anak muda sekarang. Atau populer mana sekarang, Shinichi Kudo dengan Ran atau Mickey Mouse dengan Donald Duck misalnya? Bicara India, mereka bisa berbangga hati karena bisa menyelenggarakan festival film yang hampir menyamai gaung Academy Award tiap tahun. Bicara Cina,-untuk negara ini penulis akan membicarakan perkembangan iptek- tahun 2003 berhasil mengorbitkan Yang Liwei, yuhangyuan (astronot) mereka mengelilingi bumi selama 21 jam. Yang istimewa Yang Liwei bukan meluncur dari Florida tapi dari Gansu, Cina negerinya sendiri.

Terbukti dengan memiliki huruf sendiri negara-negara tersebut memiliki semangat untuk berkreasi, menonjolkan diri, serta semangat untuk mencintai apa yang mereka miliki.

Ketika kita mempelajari sejarah kala SMP, perpindahan dari zaman pra-sejarah ke zaman sejarah adalah dengan ditemukannya tulisan bukan? Kemudian, saat kita membuka bab berikutnya tentang zaman sejarah kita menjadi tahu bahwa tolok ukur beradab dan unggulnya suatu bangsa dinilai apakah mereka sudah memiliki tulisan atau belum kan? - penulis tidak bermaksud bahwa bangsa kita tidak “beradab”-. Kalau kita sudah kadung bangga dengan huruf latin, banggakah kita menggunakan huruf caplokan?

”Budaya unggul harus jadi identitas kita, kalau orang lain bisa mengapa kita tidak bisa. Kalau Malaysia bisa, kenapa kita tidak. Kalau India bisa kenapa kita tidak. Kalau ekonomi China maju kenapa kita tidak bisa maju,” kata Susilo Bambang Yudhoyono, kala meyambut peluncuran buku Stephen Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, November 2005 silam. Pernyataan beliau memang menggedor kesadaran kita tapi gimana ya? Lha wong untuk mengungkapkan gagasan di atas kertas saja kita jelas-jelas bukan cerminan dari bangsa unggul.

Ada sedikit kegembiraan penulis tatkala pertama kali menemui font Java di komputer milik seorang teman. Tapi setelah penulis teliti, font tersebut hanya font latin rasa honocoroko.

Memang amat muskil meneruskan judul di atas dengan satu frasa lagi, Satu Aksara.....








Tidak ada komentar:

Posting Komentar