Selasa, 21 April 2009

Media Kuning Itu...

Lah Dalah, 60 % Ciblek Simpang Lima Masih Ranum...!

Judul berita sebuah koran lokal itu saya baca keras-keras.
Kontan kawan saya tertawa mendengar kalimat “lucu”
itu. Koran itu saya buka untuk dibaca judul-judul di masing-masing rubriknya. Saya selalu membaca keras-keras apabila ada judul berita yang saya anggap “heboh”. Koran-koran yang saya bawa itu rata-rata ber-lay out semarak, memajang foto-foto berani, dengan terdapat lebih dari 10 judul berita di halaman depan.

Meteor
Bejan Syahidan, Pemimpin Redaksi harian Meteor saya temui esok paginya (22/9). Ia mengakui harian Meteor sebagai media kuning. “Isi dari media kami memang tidak jauh-jauh dari kriminal, seks, dan supranatural. Itu sudah maqom-nya media kuning mas,” akunya. “Tapi perlu digarisbawahi bahwa berita yang kami tulis adalah berdasarkan fakta, tidak dibuat-buat,” tambahnya. “Rubrik Alkisah kami tujukan untuk pasangan suami istri untuk menambah gairah mereka dalam berhubungan intim,” jelas Bejan. Ia menjelaskan lagi kalau Meteor dibilang sebagai koran porno, sebenarnya bagian tersebut tidak lebih dari 10 persen. Masih kalah jauh dengan tayangan televisi. “Anak yang belum bisa baca bisa menyaksikan televisi, tapi tidak bisa membaca Meteor,” tambahnya lagi.

“Manfaat membaca media kuning sendiri apa Pak?” tanya saya. “Orang mencopet, merampok sekarang sudah kreatif, orang merampok ora mesti mbobol jendela (tidak harus menjebol jendela), banyak sekali modusnya. Nah dengan membaca media-media seperti Meteor orang jadi tahu variasi-variasi modus kejahatan tadi,” jawabnya dengan logat jawa kental.

Kantor redaksi Meteor di lantai 3 di Gedung Graha Pena, daerah Banyumanik, Semarang. Ternyata Meteor beroplah 150 ribu eksemplar per hari tersebar di Jateng dan DIY. Meteor menguasai persaingan untuk media sejenis di Jateng dan DIY.

Merapi
Akhir September, saya pergi ke Yogyakarta untuk mewawancarai Nurhadi, Pemred harian Merapi. Merapi adalah media lokal yang memberitakan kriminal dan supranatural. Yang berbau pornografi tidak akan kita temukan di media ini. “Asal-usul wartawan kami adalah wartawan KR (Kedaulatan Rakyat),” kata Nurhadi. Harian Merapi memang bernaung di bawah satu perusahaan dengan KR.

“Orang boleh berpendapat kalau Merapi adalah koran kuning. Saya bilang nggak. Bagi saya koran kuning adalah koran yang mengabaikan fakta yang ada,” tegasnya. Nurhadi yang pernah menjadi anggota tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan Udin ini menambahkan Merapi tidak akan menulis kronologis peristiwa kejahatan secara mendetail. “Misalnya, kasus pemerkosaan, kami tidak akan menceritakan bagaimana korban diperkosa,” tambahnya.

“Niat kami menerbitkan Merapi tidak akan memuat hal-hal yang berbau pornografi. Rubrik supranatural pun kami buat sebisa mungkin untuk tidak menjurus ke syirik-musyrik,” tegasnya.
Jumat pagi (30/9) saya berada di depan Kantor Redaksi KR di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Kantor redaksi Merapi di belakang kantor redaksi KR. Tidak ada papan nama Merapi di pinggir jalan. Yang ada hanya tulisan besar “Kedaulatan Rakyat” di bagian depan bangunan.

Letak kantor redaksi Merapi nyempil di belakang. Setelah menggeser sehelai daun pintu, saya berhadapan dengan ruang amat kecil.
Jumlah barang-barang yang sangat banyak menambah sesak ruang kecil itu. Ada 4 perangkat komputer dalam ruang tersebut. Di dinding terdapat foto-foto wanita cantik berpose aduhai.
Untuk sebuah harian yang mulai terbit pada tahun 2003, Merapi beroplah sebanyak 30 ribu eksemplar tersebar di DIY dan Jateng. “Untuk Jogja, kami berada di urutan nomor dua harian dengan oplah terbanyak setelah KR mas,” jelasnya sambil menunjukkan data keluaran AC Nielsen.

Kriminal
Setelah dari Jogja, pencarian informasi perihal media kuning berlanjut ke sebuah media yang cukup dikenal di Semarang. Media ini terbit secara mingguan. Namanya Mingguan Kriminal. Setelah saya amati ternyata berita-berita di mingguan ini didominasi berita-berita kasus korupsi. Sementara berita-berita tentang pencurian pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain mendapat porsi yang lebih sedikit.

“Kira-kira sudah setengah tahun ini kebijakan redaksional kami berubah, kami banyak menonjolkan berita tentang korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat daerah, jadi tujuan kami dengan adanya Kriminal adalah ingin mengungkapkan kepada masyarakat akan berbagai macam modus korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat tersebut,” kata Robinson Simarmata, Pemred Kriminal di sela-sela kesibukannya.

Saat ditanya soal salah satu rubrik yang terkesan porno dia menjawab dengan tenang, “Rubrik yang berbau pornografi milik kami hanya 1 lembar saja. Rubrik itu hanya sebagai bumbu saja dan uniknya rubrik itulah yang paling digemari konsumen kami. Tapi perlu digarisbawahi bahwa kami bukan media yang menonjolkan hal-hal seperti itu,” katanya.

Kantor redaksi Kriminal di daerah Tlogosari di kompleks sebuah ruko di Jalan Supriyadi. Kantornya sendiri berada di lantai dua, di atas sebuah wartel.

Kriminal beroplah 25-30 ribu tersebar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. “Jumlah oplahnya itu fluktuatif mas. Misal kalau ada sebuah kasus besar di suatu daerah, oplah mingguan kami di daerah itu bisa meningkat,” jelas Robinson.

Uses and Gratification
“Struktur penulisan berita di Meteor kami buat menyesuaikan konsumen kami. Sebagai contoh untuk masalah penjudulan kami sering memakai prokem-prokem yang populer di masyarakat,” jelas Bejan Syahidan. Dia menambahkan bahwa mungkin orang menyebut Meteor sebagai media kuning mungkin ditangkap sisi jeleknya yaitu sebagai koran yang amburadul, tren penulisannya tanpa tedeng aling-aling. Kenapa begitu memang sengaja. Mereka memikirkan betul-betul dengan melihat pasar yang ada.

“Untuk penulisan berita, Merapi sebisa mungkin memakai EYD, cuma perlu diingat segmen pasar kami adalah golongan menengah ke bawah sehingga kami juga sering menyelipkan bahasa-bahasa jawa ngoko,” aku Nurhadi.

Pernyataan berbeda keluar dari Robinson Simarmata. “Untuk Kriminal, kami berusaha untuk memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar karena mingguan kami juga tersebar di luar Jawa,” jelasnya.

Di Yogyakarta, selain menemui Nurhadi, saya juga menemui Muhammad Sulhan, dosen muda Jurusan Komunikasi UGM untuk dimintai pendapatnya tentang media kuning. Menurutnya, media kuning hadir sebagai salah satu alternatif bacaan bagi masyarakat di tengah-tengah bejibunnya media yang homogen, tidak bombastis, dan biasa-biasa saja. Padahal ada sekelompok golongan yang merasa terabaikan dengan homogennya media-media seperti itu. Ada golongan yang sulit mencerna tulisan-tulisan di media-media yang bahasanya akademik.
Konsep media ini sudah segmented. “Bagi saya pribadi media ini adalah sebagai pemenuhan kebutuhan bagi golongan menengah ke bawah. Buktinya terlihat dari struktur bahasa yang sederhana. Narasumber-narasumber yang tampil di media ini rata-rata adalah golongan menengah ke bawah. Mereka merasa dihargai. Sebagai contoh, kita akan senang untuk tampil di media. Jadi secara psikologis media ini adalah media kepunyaan mereka.”

Dalam ilmu komunikasi ada istilah Uses and Gratification, selalu ada alasan logis seseorang untuk mengkonsumsi media. Para pembaca media kuning merasa senang dan terlayani kebutuhannya sehingga mereka membeli. Ini pasar yang sangat potensial karena kita tahu sendiri rata-rata orang Indonesia adalah golongan menengah ke bawah,” jelasnya.

Sebagai misal, sambil bercanda, pengajar berpenampilan modis ini mencontohkan sebuah judul seperti berikut, “Seorang Gadis Bunting Gara-Gara Di-Criit oleh Anggota Dewan”. “Mungkin kaum yang berpendidikan tinggi bingung membaca judul ini, tapi bagi tukang becak, preman judul ini sangat meaningful bagi mereka. Pemaknaan mereka bagi mereka yang di kursi eksekutif dan para tukang becak berbeda,” jelasnya lagi. “Masalahnya kita terkejut dengan model pemberitaan tersebut. Kita menganggap hal itu memberi pengaruh buruk bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain, segmen yang dibidik media kuning itu tadi sudah biasa dengan hal-hal yang seperti itu. Kalau kita paham dengan logika segmen kita tidak perlu khawatir dengan masalah isi. Ini media untuk kita, ini media untuk mereka,” jelasnya.

Menurutnya, fungsi media kuning sebenarnya penting. Di dalam media putih seperti Kompas dan lain-lain berita kriminal amat sedikit dimuat dan pembahasan bisa dibilang tidak terlalu mendalam. Dengan membaca media kuning, masyarakat jadi lebih waspada akan berbagai bentuk tindak kejahatan. “Media kuning juga alat yang bagus sebagai media referentif bagi golongan menengah ke bawah. Referensi-referensi dari media kuning ini yang membuat mereka sering berdiskusi dan bertambah akrab,” jelasnya lagi.

Saat ditanya, benarkah media kuning berperan meningkatkan terjadinya tindak kejahatan sekarang ini, dia menjawab tidak benar. “Kita sering mengkambinghitamkan media atas kasus ini padahal sebenarnya salah. Seseorang memerkosa bukan karena dia membaca media kuning, tetapi karena dia tidak punya uang untuk memuaskan libidonya ke pelacur. Itu saja!” katanya santai. Ia menjelaskan lagi bahwa media hanya memberitakan hal-hal yang bersifat fakta saja, tinggal kita mau mengakui atau tidak melihat fakta yang seperti itu. “Yang menjadi masalah mungkin frame-nya,” sambungnya.

Terlepas dari hal-hal di atas dia melihat ada kekurangan media kuning dalam penyusunan beritanya. Struktur 5W+1 H belum tersusun baik dan hanya menonjolkan kekerasannya saja.
Ada saran darinya menanggapi media kuning. “Rata-rata wartawan media kuning tidak memiliki background pendidikan wartawan yang bagus. Apabila wartawan media kuning memiliki background yang bagus, maka tidak akan muncul berita yang hanya menonjolkan kekerasan saja. Struktur menulis beritanya pun akan semakin baik.”

Dipublikasikan di Majalah Kompas Mahasiswa, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar