Rabu, 22 April 2009

Sampah, Jago, dan STW

Sepanjang Jalan Kepodhang, bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebi dari lima meter saling berhadapan. Bayangan yang terbentuk meneduhi jalanan. Satu dua kendaraan lewat. Diiringi bau pesing semriwing.

Hampir 2 jam Bang Kadir ada di kantor Samsat Semarang untuk memperpanjang masa berlaku SIMnya yang dua hari lagi hampir habis. Biarpun lima tahun sekali, mengurus perpanjangan SIM ternyata menguras tenaga dan kesabaran. Bolak-balik antri dari satu loket ke loket lain, menunggu panggilan, belum lagi merasakan panasnya kemarau, membuat bang Kadir hampir frustasi.

Cuplis si ponakan yang menemani, duduk deleg-deleg menunggu sang paklik di jejeran bangku depan loket. Akhirnya SIM baru didapatkan setelah hampir 3 jam perjuangan. Bang Kadir yang sudah keroncongan mengajak Cuplis makan di warung nasi kucing seberang kantor. Jalan Gelatik kendati jalan searah siang itu sulit diseberangi. Laju kendaraan berkecepatan di atas 50 km/jam membuat mereka menunggu setidaknya selama 5 menit. Cuplis yang baru pertama kali diajak ke kantor Samsat cuma clingak-clinguk ke sana ke mari melihat pemandangan yang baru kali pertama dilihat.

“Bang Kadir tak jadi menyeberang ke warung nasi kucing, alih-alih menggeret tangan si Cuplis berjalan ke arah Jembatan Berok. “Jalan-jalan sik wae sisan mumpung neng kene, itung-itung nyenengke cah kuper iki,”batinnya.

“Tak andani yo nang, jenenge landha kan wis tau njajah Indonesia mesti yo mrene barang to yo,”jelasnya. “IMMANUEL!”eja Cuplis. “Wong Semarang nyeluke Greja Blenduk nang!”timpal Bang Kadir. “Oo aku ngerti bang, mesti amargo gendhenge mblendhuk yo bang?”tanya Cuplis yakin. Bang Kadir diam saja, mungkin deru kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi konsentrasinya pecah. Terlalu ramai plus cuaca panas, bang Kadir kemudian berbelok ke sebuah gang menuju jalan Kepodhang. “Wah nek koyo ngene, landhane ra kopen yo bang,” Cuplis berkata sambil menunjuk ke selokan yang mampet karena sampah. “Yo mungkin ngene Plis mikire wong-wong dhuwur, kene kan Kota Lama, dadine ra mung gedhong-gedhonge thok sing lama, sampah-sampahe barang kudu “lama”,” ujar Bang Kadir. Cuplis yang telmi cuma mengangguk canggung.

Sampailah mereka di pertigaan jalan Kepodhang. Mereka berdua berjalan ke arah Kali Semarang. “Wah aku rak wani lunga mrene bengi-bengi bang,” ujar Cuplis. “Aku wae rak wani og,” timpal Bang Kadir sambil melihat sebuah gedung tua yang mirip kastil vampir di Pennsylvania. “Kene nek bengi ki akeh premane,” ujar bang Kadir. Mereka meneruskan perjalanan. Bangunan-bangunan tua dengan tinggi rata-rata lebih dari lima meter saling berhadapan sepanjang jalan Kepodhang membuat suasana teduh. Pun kendaraan hanya satu dua yang lewat.
“Bang, apik ik ana ringin (beringin) iso tukul ning tembok,”seru Cuplis sembari menunjuk sebuah gedung yang ditumbuhi pohon beringin.

“Iyo ik, mungkin kene mengko iso dadi cagar alam perlindungan wit ringin yo plis he he he,” balas Bang Kadir sambil tertawa setelah melihat ternyata ada banyak pohon beringin menclok di gedung-gedung tua sepanjang jalan.”Bang, nek kawasan Kota Lama didadekke obyek wisata mesti apik yo bang?”tanya Cuplis.”Oo wis ket mbyen, kawasan kene ki yo dilindungi undang-undang lo,” jelas Bang Kadir. “Dilindungi piye, malah podho rusak’,”tanya Cuplis menyalahkan. “Yo mungkin mikire wong-wong dhuwur kan, bangunan kene rak entuk diowah-owah dadi yo dijarke koyo ngene,” jelas bang Kadir.

Mereka sampai di sebuah pertigaan. Di seberang kanan depan sebuah gedung tua, ada keramaian kokok ayam-ayam. Ternyata hanya ada ayam-ayam jago. Ada yang dikurung, ada yang dielus-elus, ada pula yang dikempit. Serta sekumpulan mayoritas laki-laki yang mungkin melakukan transaksi jual beli.

“Bang, ana pasar pithik barang, pithike jago kabeh,”seru Cuplis sembari menunjuk. Satu dua orang di sana memandang tajam ke arah mereka berdua. Melihat gelagat kurang baik, Bang Kadir menggeret lagi tangan si Cuplis dan berjalan cepat ke pinggir Kali Semarang, tempat pemberhentian terakhir angkot-angkot oranye Semarang .

Bang Kadir mengajak Cuplis menuju jalan Mpu Tantular, niatnya memperlihatkan si Cuplis Polder Tawang. Kira-kira lima belas menit berjalan sampailah mereka di polder. Mereka duduk di sebuah ambalan menghadap Stasiun Tawang sembari melepas lelah.

“Ki lo nang sing jenenge polder, dibangun ben nggo ngelongi banyu rob saka laut,”jelas Bang Kadir. “Ambune!”seru si Cuplis sambil menutup hidung dan melihat air polder yang berwarna kehijauan. Mereka hanya sanggup “bertahan” lima menit duduk di sana. Bau mirip bau kentut mengganggu pernafasan mereka.

Bang Kadir dan Cuplis berbalik dan melihat sebuah bangunan berpintu banyak serta tembok yang tidak utuh lagi. Mereka berjalan menuju ke sana. Di sebuah lubang besar yang sepertinya bekas pintu yang yang jebol, mereka melihat warung makan yang ditunggui seorang wanita. “Ma’em mas!” seru si penjual. Tempat itu sepi dan gelap. Meski lapar Bang Kadir tidak berselera makan. Bau busuk menggelitiki rongga hidungnya.

Mereka memutuskan kembali ke warung nasi kucing depan Kantor Samsat. Ternyata banyak pintu yang tak terkunci di gedung tua itu. Bang Kadir yang agak grathil membuka salah satu daun pintu. Cuplis ada di belakangnya.

Sesaat setelah membuka pintu, “ayo mas melbu wae, anake dijak sisan yo ra po-po,” sapa seorang wanita STW berdandan menor serta berpakaian ketat. Cepat-cepat ia menutup pintu kembali dan menggeret lengan Si Cuplis dan langsung mengambil langkah seribu. “Asem! Pengene seneng malah senep,” sesal Bang Kadir.

“Ana apa to bang,” Cuplis yang kewalahan mengikuti Bang Kadir. “Ana setane yo bang?” tanyanya polos.

Dipublikasikan di tahun 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar