Minggu, 17 Mei 2009

Museum Affandi Yogyakarta Memoar “Daun Pisang” Affandi

Di Jalan Jogja-Solo, di tepi barat Sungai Gajahwong. Sebuah lahan yang terkenal angker waktu itu. Dengan rimbunnya pohon-pohon bunga kamboja. Di sini sang maestro ekspresionis itu memilih rumah terakhirnya.


Affandi lahir di Cirebon tahun 1907 tanpa diketahui tanggal dan bulannya. Menamatkan HIS di Indramanyu dan MULO di Bandung. Sekolahnya di AMS Jakarta ia hentikan di tahun kedua karena dorongan besar untuk melukis. “Karier” melukisnya ia awali dengan menjadi tukang cat papan nama toko dan menggambar gambar reklame bioskop di Bandung. Pun menjadi tukang sobek karcis di bioskop yang sama di malam hari.

Tak puas dengannya kariernya, Affandi pindah ke Bali untuk menemukan jati diri. Hanya sebentar, ia kembali ke Bandung cemaskan keluarga karena invasi Jepang. Tahun 1943 di Gedung Poetra Jakarta. Pertama kali ia memamerkan karya-karyanya. Ia mulai dikenal, ia mulai mendapat tempat.

Di masa proklamasi, Affandi turut ambil bagian. Bung Karno memberi ide membikin poster. Poster bergambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Modelnya Dullah, temannya sesama pelukis. Chairil Anwar, penyair muda waktu itu memberi sumbangsih kata-kata. “Bung, ayo bung!”. Kata-kata yang dipungut Chairil dari pelacur-pelacur Jakarta yang menawarkan diri mereka. Selesailah poster bersejarah itu. Yang kemudian diperbanyak untuk disebarkan ke daerah-daerah.

Belanda melancarkan agresi. Membuat situasi politik di ibukota jadi tak menentu. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Jogja. Diikuti pula oleh para pelukis. Jogja jadi pusat kegiatan seni lukis. Membuat Affandi sering ke sana. Di Jakarta ia dirikan Gabungan Pelukis Indonesia. Di masa itu lahir salah satu karyanya yang terkenal; ”Mata-Mata Musuh”.

Pernah juga ia menjadi salah satu pimpinan Lekra bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung dan yang lain. Affandi punya cerita unik di sini. Saat itu tahun enam puluhan. Saat AS mengagresi Vietnam. Di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sedang marak gerakan penolakan agresi AS itu. Segala macam bentuk kebudayaan barat ditolak negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan pameran di Gedung USIS Jakarta. Ia mau. Setelah itu ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Kebesarannya mulai terlihat. Ia mendapat beasiswa dari India untuk sekolah di Shantiniketan Art School, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Uniknya sampai di sana ia ditolak. Alasannya di dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India. “Potret Diri dengan Tujuh Matahari” tercipta di sana.

Selesai dari India bertolak ke Eropa. Melakukan perjalanan dari London hingga Den Haag. Di perjalanan ia temukan jati dirinya. Ia yakin dengan posisinya di dalam konstelasi seni rupa dunia. Ekspresionisme telah menemukan tuannya.
Pun begitu, ia sendiri tak tahu kalau karya-karyanya itu beraliran ekspresionis. Sebelum diberi tahu oleh kritisi-kritisi barat. Menurut mereka Affandi memberi corak baru aliran ekspresionisme. Saat ditanya apa konsep dan aliran lukisannya, Affandi malah balik tanya. Aliran apa itu?

Tanah angker dan berharga murah
Peraih gelar Grand Maestro dari Italia itu pulang ke tanah air. Tahun 1961. Ia putuskan untuk pindah ke Jogja bersama seluruh keluarga. Tepatnya di Jalan Laksda Adi Sucipto yang menghubungkan Jogja dengan Solo. Di tepi sebelah barat sungai Gajahwong yang membelah Jogja di sebelah timur. Sepetak tanah yang lumayan luas; 3500 m2. Ia tertarik di situ bukan karena harganya yang murah. Tanah tersebut terkenal angker dengan rimbunnya pohon kamboja layaknya kuburan. Itu yang membuatnya penasaran.

Mulailah ia merancang sendiri rumahnya. “Pada suatu hari, saat di sawah hujan datang tiba-tiba. Ia lihat pohon pisang. Dipetiklah daunnya buat berteduh sementara. Ia terilhami kejadian itu. Ia terobsesi daun pisang. Daun yang bisa meneduhi di kala hujan atau terang.” Cerita Setiawan, salah satu staf pengelola. Bentuk daun pisang ia aplikasikan pada atap rumahnya yang kelak ia pakai juga untuk galerinya. Ia juga terilhami bentuk dangau sawah sebagai bentuk rumahnya. Jadilah rumah panggung dua lantai. Lantai atas adalah kamar pribadinya dengan Maryati, istrinya. Ada teras menghadap selatan yang memungkinkan Affandi melihat pekarangan rumah, sungai serta kesibukan jalan raya. Di bawah tempatnya menerima tamu serta garasi Colt Galant mobil sport kesayangannya. “Affandi itu punya banyak koleksi mobil sport Mustang, Jaguar, kebanyakan dua pintu. Colt Galant itu kesayangannya. Dulu pas orang Mitsubishi berkunjung ke sini, mereka tertarik untuk membelinya dengan harga tinggi. Juga nawari untuk ngijoli sama yang seri baru. Tapi Affandi ndak mau,” lanjut Setiawan.

Affandi ingin punya galeri untuk memamerkan sendiri karya-karyanya. Ia bangun sebuah gedung berbentuk spiral lengkung di sebelah barat rumahnya. Gedung itu selesai pada tahun 1962. Saat ini dipamerkan karya-karyanya secara retrospektif dari awal sampai akhir kariernya di sisi timur bawah. Di sisi timur atas terpampang lukisan-lukisan potret diri yang menjadi obyek kesayangannya. Ada Colt Galant uniknya di ujung selatan. Di sisi barat terpasang karya-karya reproduksinya. Juga terdapat benda-benda yang sempat mewarnai kehidupannya. Mulai dari sepeda kumbang, pipa-pipa pengisap asap tembakau sampai sandal jepit yang sering dipakainya. Tergantung pula beberapa penghargaan yang didapatnya dari dalam maupun luar negeri. Gedung ini disebut Galeri I.

Usia menua, membuat Maryati lelah naik turun. Ia minta Affandi membuatkan kamar berperabot lengkap untuk keperluan pribadinya. Maryati ingat caravan. Rumah mobil yang sering ia lihat sewaktu berkeliling Eropa dan Amerika menemani suaminya. Ia minta Affandi membelikannya. Tapi apa daya, sang suami tak bisa. Mengimpor barang sebesar caravan tidak memungkinkan saat itu. Muncul ide Affandi untuk tetap menuruti kemauan istrinya. Dibuatkannya Maryati gerobak dengan ukuran besar. Seperti yang diinginkan Maryati, gerobak ini berperabot serta bertata ruang lengkap. Dari lemari dan kulkas hingga dapur dan kamar mandi. Ide gerobak ia rasakan pas dengan rumah dangaunya. Saat ini dialihfungsikan sebagai musholla.

Affandi yang malas mandi juga punya kolam renang. Letaknya di teras bawah. Ia dapat ide bentuk ikan cucut yang menghadap selatan. Tak tahu kenapa, suka saja. Di hari biasa dua kali sehari atau saat selesai melukis ia biasa menceburkan diri. Ditemani Maryati dengan busana lengkap. Atau saat hari libur saat berkumpul bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Sambil menggelar tikar dan makan bersama. Seringnya karedok atau gado-gado.
Suharto sangat bersimpati dengan Affandi. Affandi telah mengharumkan nama negara. Ia beri bantuan Affandi biaya pendirian sebuah gedung di samping Galeri I. Membujur dari barat ke timur. Selesai di tahun 1988. Dinamakan Galeri II. Tempat lukisan teman-teman Affandi. Seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Fajar Sidik, dan lain-lain. Sekarang, sering disewakan kepada pelukis-pelukis yang ingin mengadakan pameran atau sekadar “nitip” lukisan.

Galeri III. Bangunan 3 lantai yang didirikan tahun 1997 oleh Kartika, anaknya. Di sini tempat karya-karya keluarga Affandi. Ada sulaman Maryati. Ada lukisan Kartika yang mengikuti jejak ayahnya. Pelukis ekspresionis “on the spot” tidak memakai kuas. Melukis langsung dari tube cat dan memakai tangan kiri bila perlu. Cara melukis seperti itu tak tahu kenapa juga turun ke Didit, cucunya dari Kartika. Lukisan-lukisan Didit dipamerkan di Sorrandu Gallery. Masih satu areal dengan museum. Di sebelah kolam renang tepatnya.

Affandi meninggal 23 Mei 1990. Sebelum meninggal ia minta anak cucunya apabila meninggal ia minta dikuburkan diantaranya lukisan-lukisannya dan disebelahi Maryati. Ia bahkan sudah memilih tempatnya. Diantara Galeri I dan II. Permintaan terakhirnya terkabul. Ia dikubur di situ, ditemani Maryati yang menyusul wafat pada 26 Mei 1991. Affandi dikubur diantara karya-karyanya. Disatukan menjadi sebuah museum laiknya memoar. Memoar milik satu diantara sedikit orang yang berani dan mampu melanggengkan mimpi-mimpi dan ide-idenya sampai dijemput ajal. “Affandi itu hidupnya suka-suka aja. Sering orang disekitarnya juga ndak tahu jalan pikirannya,”akhir Setiawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar