Minggu, 17 Mei 2009

Papillon Studio

Semarang memiliki sebuah komunitas yang cukup berandil pada dunia komik Indonesia.

Awalnya Alfa Robbi, Adit, Ade Tiar dan Cahyo adalah teman satu geng yang suka komik dan ngomik kala SMP. “Nama geng kita Caterpillar. Karena kita pengin serius, dengan nama Caterpillar kita buka iklan di Suara Merdeka untuk cari anggota baru. Ternyata banyak yang datang,” tutur Alfa yang ditemui di studionya. Setelah itu mereka sepakat untuk menanggalkan nama Caterpillar. “Caterpillar kan kepompong, kita mau jadi kupu-kupu, Papillon,” ungkap Alfa. Jadilah mereka memakai nama itu dengan menambah Fajar Buana sebagai pendiri.

Papillon Studio sempat menempati rumah di Jalan Tengger. “Sebenarnya itu rumah milik Cahyo, salah satu anggota kami dulu. Karena ada ruang kosong disitu,” lanjutnya. Saat itu komik mereka, Boneka Kematian diterbitkan oleh salah satu penerbit komik besar di Indonesia.

Tak dinyana, setelah itu terjadi masalah diantara para pendiri. “Visi kami tidak sama lagi, jadi tinggal saya dan Fajar yang mengurus dengan beberapa anggota lain,” kenang Alfa. Papillon pindah ke Perum BPI Ngaliyan, tepatnya di garasi rumah orang tua Alfa. Kondisi itu berlangsung hampir lima tahun, 2002 hingga 2007.

Lima tahun cukup untuk mereka. “Kami merasa harus berbenah, merapikan manajemen. Refresh lah,” seloroh Alfa. Pada 17 Juli 2007 itu, Papillon Studio tampil dengan semangat baru. Logo pun mereka ganti. Mereka juga menempati studio baru di Perumahan Bukit Sendangmulyo hingga kini. Kru-kru Papillon yang aktif sekarang berjumlah lebih dari 10 orang. Diantaranya Alfa Robbi, Fajar Buana, Burhan Arif, Ida Sri Prabowo, Erik Senopati, dan Anang Setyawan sebagai seniman. Belum lagi kru yang mengurus manajemen.

Papillon juga menghadapi tantangan yang dialami oleh kebanyakan komikus Indonesia saat ini. Yaitu komik Indonesia yang belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Papillon bisa eksis hingga sekarang lebih dikarenakan menjadi pekerja komik bukan seniman komik. Dari situ Papillon mampu membeli rumah untuk menjadi studio beserta perlengkapan untuk berkarya seperti komputer, scanner dan meja gambar. “Kalau kamu melihat nama komikus yang terpampang di komik itu berarti dia adalah konseptornya. Tidak serta merta ia yang mengerjakan semuanya. Pasti ia membutuhkan asisten. Asisten itu penciler, inker dan colorist,” cerita Alfa yang saat ini menjabat sebagai ketua.

Papillon sekarang sedang menggarap pesanan komik dari sebuah penerbit di Amerika berjudul The Fro. The Fro bercerita tentang seorang remaja laki-laki yang mendapatkan kekuatan super dengan perubahan rambutnya menjadi kribo. Perihal bagaimana mendapat koneksi dari luar negeri Alfa bercerita, ”Kami dulu suka buka situs-situs komik. Lha di situ kan ada lowongan, dibutuhkan penciler lah, inker lah. Kami masuk. Terus dari situ kami bisa mendapat pesanan untuk komik dalam arti proses seluruhnya mulai dari penciler, inker dan colorist. Mereka pernah mengalami kejadian unik. "Kami saat itu mendapat pesanan komik dari luar negeri. Klien kami jujur kalau tidak punya uang buat bayar jasa kami. Terus kami ditawari minta apa selain uang. Kami minta komik. Akhirnya kami dikasih komik Spawn komplit.” ceritanya. Mereka juga pernah tak dibayar. Maklum, pekerjaan mereka berdasar atas kepercayaan.

Biasanya Papillon mendapatkan tawaran dari penerbit. Setelah tawaran diterima, si penerbit mengirimkan ide cerita plus skenario yang berisi dialog, narasi dan situasi yang terpisah per panel (halaman). Pertama tugas penciler yang menerjemahkan skenario per panel itu dalam komik. Kemudian setelah di-scan adalah tugas inker untuk menebalkan garis-garisnya. Terakhir adalah tugas colorist untuk memberi warna. Alfa mengaku jika dari Papillon mereka mampu menggantungkan hidup. “Paling cuma ada satu orang yang masih nyambi dengan pekerjaan lain,” cerita Alfa yang juga memiliki merek clothing, The Comics Stuff yang sudah tersebar di beberapa distro di Semarang.

Pappilon belum merasa puas dengan capaian mereka. Misi mereka memasyarakatkan komik Indonesia di negeri sendiri tampaknya masih jauh untuk diwujudkan. Ada beberapa komik indie yang sudah Papillon terbitkan seperti Milk Pool dan Odd Bugs. Milk Pool bertema nasionalisme dan persahabatan. Odd Bugs adalah komik untuk anak-anak. “Tapi Odd Bugs dikritik, kenapa harus pakai tokoh utama kecoa. Kecoa kan asosiasinya jelek-jelek, kotor-kotor.. ,” timpal Alfa. Sayangnya komik indie bikinan mereka belum mendapat sambutan yang positif. “Komik indie biasanya laris waktu acara-acara pameran seperti pada waktu kami pameran di Malang (Pekan Komik Animasi Nasional_red). Kalau di Semarang memang susah karena kita memang tidak distribusi kemana-mana, cuma di studio saja,” jelas Alfa.

Alfa memberikan pendapat perihal perkembangan komik Indonesia. Ia berharap pemerintah mempermudah akses pemasaran komik lokal. “Sekarang kan kesannya komik lokal tidak pernah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Komik nasional dibanjiri komik Jepang dan Amerika. Contoh aja sinetron Indonesia, itu kan jelek-jelek tapi karena ditayangin terus, penonton jadi suka,” imbuhnya. Pendapat berbeda dilayangkan Fajar,” Sebenarnya kita itu ndak usah terlalu mengharapkan pemerintah, wong urusan pemerintah masih banyak yang lebih penting kok. Kami merasa komik Indonesia sudah mulai bangkit jadi kita sebagai seniman tidak cara lain yang lebih baik selain action, action, action,” katanya bersemangat.

Dimuat di Jurnal Tanda edisi perdana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar