Minggu, 10 Mei 2009

Senirupa Semarang Riwayatmu Kini

Mengawali tahun 2009 geliat seni kota Semarang dimeriahkan dengan kedatangan seniman-seniman besar untuk berpameran di beberapa galeri. Di antaranya Eko Nugroho, Nindityo Adipurnomo dan Arie Dyanto.

Ketiganya berasal dari Yogyakarta. Untuk Eko Nugroho dan Arie Dyanto patut diberi catatan. Kedua seniman muda ini amat konsisten dengan ciri mereka. Eko aktif berekspresi menggunakan media komik dengan Dagingtumbuh-nya. Arie yang mengusung semangat urban eksis dengan street art dan lowbrow-nya. Terakhir Galeri Semarang menggelar pameran bersama yaitu Soni Irawan dan Farhan Siki. Keduanya berpameran dengan konsep yang mirip dengan pameran sebelumnya yakni street art.

Jika ditelaah, langkah Galeri Semarang, yang notabene adalah galeri komersil, dengan menggelar pameran Eko Nugroho dan Arie Dyanto bisa dibilang mengejutkan. Eko dan Arie eksis dan konsisten dengan karya-karya yang amat personal dan bernapas alternatif. Seniman seperti Eko dan Arie aktif berpameran di wilayah residensi baik di dalam maupun luar negeri. Mereka sebelumnya nampak jauh dari kepentingan galeri komersil. Namun apakah seiring dengan seringnya mereka terekspos media membuat galeri tersebut menjadi tertarik untuk memamerkan mereka? Hadirnya karya seperti mural, instalasi dalam pameran itu mengisyaratkan kecenderungan galeri itu mulai larut wacana senirupa kontemporer. Chris Darmawan, pemilik Galeri Semarang, menulis dalam pengantar pameran “Street Noise” Farhan Siki dan Soni Irawan (2009),”Tetapi itulah tren yang terjadi pada sekarang ini. Dan gejala ini tetap harus dirayakan minimal sebagai salah satu alternatif aktualisasi dan apresiasi senirupa kontemporer di Indonesia.” Inikah pasar senirupa kita saat ini?

Pameran-pameran tersebut mendapat atensi yang cukup baik dari masyarakat senirupa Semarang. Audien yang kebanyakan berasal dari kalangan anak muda itu meramaikan dengan menyaksikan pameran-pameran tersebut. Namun apakah hal itu bisa menjadi sinyal positif geliat senirupa Semarang? Toh, seniman-seniman yang berpameran tersebut tidak berasal dari Semarang. Sebenarnya bagaimana kondisi senirupa Semarang termutakhir?

Berkubang pada Banyak Persoalan
Kondisi senirupa Semarang masih berkubang pada banyak persoalan. Pertama, ketidaksiapan infrastruktur senirupa di Semarang. Ada beberapa institusi pendidikan senirupa di Semarang namun belum mampu mencetak perupa yang mampu bersaing dengan perupa dari Yogyakarta atau Bandung. Jurusan Senirupa Universitas Negeri Semarang misalnya, masih tertinggal akan wacana senirupa teranyar.

Ketertinggalan institusi ini dipengaruhi beberapa faktor. Calon mahasiswa yang ingin serius menjadi seniman tentu akan berpikir beberapa kali untuk masuk Jurusan Seni Rupa Unnes khusunya untuk bidang studi seni rupa murni. Mereka akan memilih masuk ISI Yogyakarta atau ITB Bandung untuk mengembangkan kariernya. Motivasi dari mayoritas calon mahasiswa itu tak lain tak bukan adalah menjadi pengajar. Unnes yang eks Ikip Semarang itu memang terkonsentrasi untuk mencetak pendidik.

Di sisi lain pengajar di institusi ini juga terkesan abai dengan perkembangan senirupa. Mereka terkesan mapan dengan ilmu yang sudah dimiliki. Dari sini mahasiswa yang kritis akan cenderung melawan institusinya. Mereka kemudian merintis gerak alternatif untuk mencari peluang mengembangkan karier kesenimanannya kendati sering tak jelas arahnya. Maka wajar jika amat sedikit perupa nasional yang beralmameter Jurusan Seni Rupa Unnes. Sebenarnya ada secercah harapan dengan dibukanya jurusan Desain Komunikasi Visual di beberapa institusi pendidikan lain di Semarang namun mereka masih membutuhkan waktu untuk meramaikan iklim kreatif di Semarang.

Kedua, tidak bersatunya para pemangku kepentingan dan komunitas senirupa maupun kreatif di Semarang untuk membangun iklim senirupa yang kondusif. Sebenarnya kondisi ini tidak terlalu berpengaruh pada minimnya geliat senirupa Semarang jika para pelaku-pelaku itu konsisten di jalurnya. Yang ada malah sentimen untuk bersaing dan memperebutkan pengaruh. Keberadaan rumah seni dan galeri juga terkesan berjarak dengan jarang menampilkan seniman dari kota Semarang sendiri. Seharusnya ruang-ruang itu lebih peduli untuk memberdayakan perupa-perupa di Semarang untuk menemukan peluangnya. Hal itu juga diperparah dengan ketiadaan kurator. Alhasil, ruang-ruang itu hanya menjadi persinggahan seniman dan kurator dari luar Semarang sementara tuan rumah hanya menjadi penonton.
Namun, di sisi lain ruang-ruang itu juga berpengaruh dalam memberikan referensi kepada masyarakat senirupa Semarang akan senirupa kontemporer yang sedang berkembang.
Persoalan-persoalan di atas berekses pada persoalan ketiga, yaitu pada nasib perupa-perupa Semarang. Minimnya ilmu dan wacana senirupa akibat “salah asuhan” oleh institusi seni membuat perupa Semarang belum mengenal medan senirupa terkini. Mochammad Salafi Handoyo, Direktur Byar Creative Industry, sebuah organisasi seni rupa di Semarang, memberikan pendapatnya. Organisasi seni nirlaba ini fokus dalam kajian dan memberikan dukungan terhadap perkembangan senirupa. Menurut pengalamannya dalam memanajemen perupa, ia menemukan idealisme berlebihan perupa dalam setiap proses kurasi maupun penelitian yang dilakukan oleh kurator dari luar Semarang yang ia undang. “Minimnya ilmu dan informasi yang diberikan oleh institusi seni menyebabkan tidak berkembangnya pola pikir seniman. Padahal jika seniman mau lebih bekerjasama dengan kurator maka akan ditemukan karakter seniman Semarang sebagai nilai pembanding baik kualitas, kecenderungan dan psikologis seniman Semarang dari kota lain. Ke depan kedudukan senirupa Semarang akan mempunyai nilai tawar yang jelas,” terangnya.

Kemudian, perupa Semarang cenderung acuh untuk mendokumentasi setiap proses karyanya. Padahal dengan adanya dokumentasi bisa dilihat perjalanan karier perupa dan dinilai kecerdasannya. Kecerdasan Eko Nugroho tak hanya diukur dari karyanya saat ini tapi juga dedikasinya yang konsisten selama lebih dari 10 tahun dengan karyanya. Semua itu hanya bisa dicapai jika disertai dengan dokumentasi yang baik pula.
Kondisi senirupa Semarang akan membaik jika ada gerak-gerak alternatif yang membantu perupa dalam memanajemen dirinya demi menemukan peluangnya. Gerak itu dijalankan dengan dua cara. Pertama, bernegosiasi dengan segmen atau infrastruktur seni dengan dasar saling menguntungkan. Kedua, jika tidak mau bernegosiasi dengan segmen tersebut, maka yang harus dilakukan adalah menciptakan ruang, sistem, manajemen, media dan sumber dana sendiri.

Sebenarnya ada potensi besar dari perupa-perupa Semarang. “Perupa-perupa Semarang punya karakteristik. Karya – karya seniman mudanya saat ini lebih variatif dan kreatif dengan berusaha meninggalkan pengaruh kecenderungan teknik karya baik dari Yogyakarta maupun Bandung. Serta mengambil dasar konsep melalui wacana yang sangat ringan. Merespon hal-hal yang terdekat dengan dirinya, bahkan bersifat pribadi,” lanjut Salafi.

Dimuat di Majalah "Gong" Edisi 1099/10/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar